Perbincangan tentang pembebasan kaum
tertindas bukanlah topik yang baru-baru ini saja dibahas. Diskursus ini secara
spesifik telah ada sejak kemunculan kritik ekonomi Marx, baik Marxisme klasik
sampai dengan era post-Marxisme sekalipun. Premis tentang keadilan dan
kebebasan secara terus-menerus menjadi topik utama di dalamnya.
Musuh utama yang dilawan adalah satu:
kapitalisme, yang menjadi akar permasalahan ketidakadilan dan alat penindas rakyat
miskin. Sampai saat ini, – atas nama globalisasi dan modernisasi – kapitalisme
mentransformasi dirinya menjadi kekuasaan hegemonik. Kondisi ini mengakibatkan
kapitalisme telah terstruktur secara legal dalam bentuk institusi formal yang
menjadi agen-agennya (seperti kemunculan IMF, Bank Dunia, dll).
Kekuasaan yang
telah melanggeng ini mampu memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan
sosial, politik dan ekonomi hampir pada sebagian besar negara di dunia. Khususnya di negara-negara dunia ketiga, yang menjadi
korban ketidakadilan selalu rakyat miskin yang memang pada dasarnya adalah kaum
lemah (musthadafin).
Islam yang dibawa oleh Muhammad bin
Abdullah sejak awal bertujuan untuk menghapuskan segala bentuk ketidakadilan
yang ada di muka bumi.
Bangsa Arab pada era-Jahiliyah
(kebodohan) memiliki kebiasaan feodal yang sangat kuat. Dalam catatan sirah nabawiyah, bangsa Arab sebelum
kemunculan Islam selalu
dijumpai perbudakan sampai dengan permainan terhadap perempuan dengan
menjadikannya sebagai properti bagi laki-laki.
Kondisi inipun berubah setelah Muhammad shollallahu alaihi wa sallam membawa Islam
dengan menghapuskan sistem perbudakan (walaupun sepeninggalan Nabi, perbudakan
tidak lantas langsung hilang, namun semangat penghapusan perbudakan itu telah
muncul), memuliakan kaum lemah, mengantarkan seluruh manusia dari kegelapan (min Az-zulumat) kepada cahaya Islam (nuur Al-islam).
Tema-tema tentang aqidah pun salah
satunya adalah kesetaraan manusia di hadapan Allah SWT di atas ketaqwaan, bahwa
sesungguhnya Allah melihat dari kadar ketaqwaan seseorang, bukan dari harta,
tahta ataupun penampilannya (Lihat Q.S. Al-Hujuraat ayat 13). Hal yang fundamental dari itu adalah tidak adanya Tuhan diantara manusia. Tidak selayaknya manusia menghamba
kepada sesama manusia.
Apa yang dicontohkan Rasulullah seperti
memerdekakan budak, mengecam kemewahan yang tidak peduli terhadap golongan fakir dan anak yatim, menikahi janda-janda
miskin – dan lain sebagainya – adalah jelas bahwa kehadiran Islam memiliki semangat bagi pembebasan kaum tertindas.
Sikap Muhammad ini ditegaskan pada Q.S. Al-Qashash ayat 5, bahwa Allah
memuliakan dan meneguhkan kedudukan musthadafin
di dunia.
Belajar Dari Pengalaman Hijrah
Kurang lebih sepuluh tahun umat Islam Mekah mengalami penindasan dari kaum Quraisy yang
membenci Islam. Kebencian
mereka bukan hanya terletak pada ajaran teologis Islam yang dikhawatirkan akan memecah belah kesatuan kaum
mereka, tetapi juga kekhawatiran akan kehilangan posisi politik dan ekonomi
yang dikuasai oleh kekuasaan oligarkis yang telah mengakar sejak lama
(Supriyadi 2004).
Struktur kelas masyarakat Mekah sebelum
peristiwa Hijrah setidaknya terbagi atas dua: kelas penindas Quraisy dan kelas tertindas kaum muslimin. Penindasan kaum
Quraisy semakin menjadi-jadi mengingat banyak kaum miskin Mekah yang “diselamatkan”
oleh Muhammad dari cengkeramannya dan memperkenalkan sebuah ajaran Islam yang terbilang baru saat itu.
Secara material, dapat dikatakan bahwa
ajaran yang dibawa Muhammad ini dianggap oleh golongan penindas Quraisy akan
mengancam kedudukan sosial dan politik mereka. Sehingga, kita mengenal dalam
sejarah Islam adanya perang antara umat Muhammad dan kaum Quraisy. Perang
antara mereka yang penindas dan tertindas ini yang selalu menjadi keabadian sejarah
manusia.
Sebagaimana yang dituliskan oleh Marx
dalam Manifesto Partai Komunis,
“Sejarah
dari semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah
perjuangan kelas. Orang merdeka dan budak, patrisir dan
plebejer, tuan bangsawan dan hamba, tukang ahli dan tukang pembantu, pendeknya
penindas dan yang tertindas, senantiasa ada dalam pertentangan satu dengan yang
lain, melakukan perjuangan yang tiada putus-putusnya, kadang-kadang dengan
tersembunyi, kadang-kadang dengan terang-terangan, suatu perjuangan yang setiap
kali berakhir dengan penyusunan-kembali masyarakat umumnya atau dengan
sama-sama binasanya kelas-kelas yang bermusuhan” (Karl Marx dan Friedrich Engels 1848).
Puncak pembebasan kaum tertindas adalah
saat dimana Muhammad bin Abdullah memindahkan kaum muslimin Mekah menuju tempat
yang bernama Yatsrib (Madinah). Peristiwa yang dinamakan Hijrah itu membuahkan
hasil yang sangat besar bagi umat Islam, yaitu terbentuknya negara Madinah di bawah
kepemimpinan Muhammad.
Di bawah bendera Islam, umat Islam dipersaudarakan (ta-akhi) dan dihapuskanlah segala bentuk
perbedaan. Kesatuan atas persaudaraan (Al-Ukhuwah) sangatlah dirasakan oleh kaum muslimin
pada saat itu. Melalui ajaran Islam, tidak ada lagi feodalisme dan telah
hilanglah sistem perbudakan secara gradual.
Peristiwa yang besar ini jika kita
hubungkan dengan kebangkitan kapitalisme pasca revolusi industri, akan terlihat
relevansinya. Marx mengkritik penghisapan nilai-lebih yang menjadi sumber
akumulasi kapital dengan mengeksploitasi kaum yang tidak memiliki alat produksi
(rakyat pekerja). Berangkat dari kritik Marx ini – melalui filsafat materialisme
dialektika historis – Marx bercita-cita suatu saat kaum tertindas ini akan
melakukan perlawanan terhadap penindasnya, merebut kekuasaan atas alat produksi,
dan terciptanya struktur masyarakat tanpa kelas.
Mungkin, semangat ini sesungguhnya telah
dilakukan pada saat peristiwa hijrah dalam sejarah Islam. Kita akan melihat pola yang sama pada zaman Eropa
modern dengan era Mekah di mana dakwah Islam pertama kali dilakukan. Jika pada masa
Eropa Modern terjadi penindasan terhadap kaum proletar, begitupula pada era
Mekah klasik terjadi penindasan terhadap kaum muslimin. Dalam solusi atas
kritik Marx, jawaban untuk tercapainya cita-cita masyarakat komunis adalah
perjuangan revolusioner.
Meskipun tidak dapat disamakan
sepenuhnya, kita akan melihat sebuah irisan yang menghasilkan reaksi yang sama
dari kaum muslimin pada saat itu melalui komando Muhammad. Melalui perjuangan
revolusioner, pecahlah beberapa perang kecil dan puncaknya adalah peristiwa hijrah, sebagai pintu gerbang pembebasan kaum tertindas dan
membentuk sebuah tatanan masyarakat yang baru.
Perjuangan Kelas dalam Pan-islamisme
Tan Malaka, seorang tokoh Komunis sekaligus
pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada 1922 dalam pidatonya di hadapan
dewan komintern menyatakan kritiknya atas keputusan Komunis Internasional untuk
menentang Pan-Islamisme. Dalam pidatonya tersebut, Tan Malaka menyebutkan
perjuangan kelas melawan imperialisme perlu dikontekstualisasikan dengan
kondisi yang terjadi di Indonesia.
Melalui Serikat Islam – setelah muncul
SI merah – kelompok buruh dan petani muslim memperoleh kesadaran kelas untuk
melakukan perjuangan revolusioner demi pembebasan dari imperialisme Barat.
Refleksi inilah yang kemudian menunjukkan bahwa kesatuan umat islam di
Indonesia pada dasarnya adalah semangat perjuangan kelas, tanpa mendikreditkan
islam sedikitpun. Hal lain yang dapat kita petik hikmahnya adalah justru islam
mengajarkan tentang kesadaran kelas dalam jihad
menentang kaum penindas.
Dalam pidato tersebut, Tan Malaka
mengatakan:
“Saat ini, Pan-Islamisme berarti
perjuangan untuk pembebasan nasional, karena bagi kaum Muslim Islam adalah
segalanya: tidak hanya agama, tetapi juga Negara, ekonomi, makanan, dan
segalanya. Dengan demikian Pan-Islamisme saat ini berarti persaudaraan antar
sesama Muslim, dan perjuangan kemerdakaan bukan hanya untuk Arab tetapi juga
India, Jawa dan semua Muslim yang tertindas. Persaudaraan ini berarti
perjuangan kemerdekaan praktis bukan hanya melawan kapitalisme Belanda, tapi
juga kapitalisme Inggris, Perancis dan Itali, oleh karena itu melawan
kapitalisme secara keseluruhan. Itulah arti Pan-Islamisme saat ini di Indonesia
di antara rakyat kolonial yang tertindas, menurut propaganda rahasia mereka –
perjuangan melawan semua kekuasaan imperialis di dunia”
(Tan Malaka 1922)
Apa yang terjadi di dunia era-modern,
umat Islam pun mengalami kemunduran secara ekonomi, politik bahkan secara
intelektual. Persoalannya berakar dari penindasan yang tidak hanya secara
fisik, tetapi melalui tekanan mental dari hegemoni kapitalisme-imperialisme.
Kita dapat melihat perjuangan kelas rakyat Mesir, Suriah, Libanon, Irak, dan
negara-negara Islam lainnya, adalah penentangan terhadap imperialisme Eropa.
Tema-tema tentang
Pan-Islamisme yang pernah diserukan oleh Al-Afghani pada dasarnya adalah untuk
kesatuan umat Islam melalui perjuangan kelas. Oleh karena itu, tanpa kita
menelan mentah-mentah tesis Marx yang menolak eksistensi agama, sebenarnya
perjuangan agama dengan perjuangan kelas tidaklah bertentangan.
Kesalahan pandangan atau resistensi
kalangan agama saat ini terhadap perjuangan kelas biasanya terjadi karena
disinformasi mengenai perjuangan kelass dan hasil propaganda Orde Baru berpuluh
tahun. Misalnya, pandangan mengenai “agama adalah candu” dari Marx, yang perlu
diklarifikasi dari pernyataan tersebut, bahwa pada dasarnya tak
ada dalam Marxisme yang menolak eksistensi agama. Yang ada adalah kritisisme terhadap
PRAKTEK AGAMA,
di mana itu dilakukan oleh penganut
agama di masyarakat, bukan keyakinan agamanya, atau keyakinan orang per orang
kepada Tuhannya.
Misalnya, seperti kita kritik PRAKTEK
kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang Islam. Kritik kita padanya bukanlah kritik terhadap AJARAN ISLAM, tetapi kritik thd PRAKTEK beragama
sekolompok orang Islam. Nah, kritik Marx adalah dalam konteks itu. Silahkan
lihat Marx dalam “Introduction
to A Contribution to the Critique of Hegel's Philosophy of Right. Karl
Marx in Deutsch-Franzosische Jahrbucher, February 1844”.
Islam sendiri melalui penafsiran yang
telah di-tashih-kan, menunjukkan
bahwa ajaran Islam sangatlah komprehensif, termasuk perjuangan sosial-politik
melawan penjajahan atas dunia. Dengan begitu, spirit agama dalam aspek sosial
dengan perjuangan kelas bisa sejalan, khususnya di Indonesia. Seperti yang
pernah diutarakan oleh Tan Malaka di atas.
Bersatulah Umat Islam!
Tren global dapat kita lihat dalam dua
poros utama; gerakan islamis dunia dan hegemoni kapitalisme. Dua pertentangan
ini terlihat bahwa sesungguhnya kesatuan umat adalah cita-cita bagi tercapainya
pembebasan umat manusia di dunia. Diskursus yang muncul pun selalu dihadapkan
pada isu-isu terorisme global yang “sengaja” dilekatkan kepada kelompok rakyat
pekerja yang beragama Islam untuk
mematahkan perjuangan kelasnya.
Sedangkan di satu sisi, melalui klaim
atas nama ilmu pengetahuan, kapitalisme global telah menjadikannya sebagai alat
untuk dapat mengontrol kekuasaan. Evolusi besar inilah yang menyebabkan rakyat
pekerja tertindas tidak mampu berbuat apa-apa, dan alasannya satu:
ketidakmilikan aset atas kekuasaan.
Maka seharusnya satu-satunya metode
pembebasan kaum tertindas dunia adalah melalui perjuangan revolusioner, dan
perjuangan tersebut didapatkan melalui jihad
dari berbagai aspek; ekonomi, sosial, politik dan budaya. Karena dengannya,
kontrol atas kuasa dapat diraih. Selain itu, secara akar rumput pun perlu
adanya agitasi dan propaganda bagi rakyat miskin muslim untuk sadar bahwa
mereka tidak harus diam dan pasrah, melainkan harus berjuang dan bergerak
bersama.
Seruan kesatuan umat
dan kesadaran kelas inilah yang akhirnya
dapat menciptakan kekuatan besar yang akan mengakhirkan tren kapitalisme global
sebagai penyebab utama kemunduran dan penjajahan atas umat manusia.
Diakhir tulisan ringan ini, saya ingin
menyerukan: Umat Islam dan kaum tertindas sedunia, Bersatulah!
0 comments:
Posting Komentar