Kalau Anda penikmat cerita fiksi, apalagi kisah detektif, tentu kisah Sherlock Holmes tidak akan dilewatkan dalam daftar bacaan Anda. Dalam edisi The Sign of The Four, Holmes pernah mengatakan kepada sohibnya, Watson, yang kurang lebih seperti ini: otak kita itu ibarat laci, jadi kita harus memasukkannya dengan barang yang benar-benar berguna. Adapun yang tidak berguna, sebaiknya jangan disimpan.
Intinya Holmes ingin menekankan bahwa jangan sampai kita membiarkan otak kita penuh dengan berbagai macam informasi atau pengetahuan, padahal belum tentu berguna bagi kehidupan kita sendiri.
Ya, Holmes telah membuktikan bagaimana kemampuan deduksi dan analisis kasus yang ia gunakan dibangun dari konstruk informasi yang semuanya relevan dan saling berkaitan. Misalnya, Holmes bisa melacak jejak seseorang hanya dari sisa abu rokok. Ia tahu persis semua jenis tembakau dan rokok, termasuk dari negara mana tembakau dan rokok itu berasal. Holmes menghafalnya karena ia tahu bahwa pengetahuan itu sewaktu-waktu akan berguna dalam penyelidikan kasus.
Soal pengetahuan yang dianggap tidak berguna, Holmes benar-benar mengabaikannya. Dalam pertemuan pertama Watson dengan Holmes yang tertuang dalam edisi A Study in Scarlet, Watson bahkan merinci apa yang diketahui dan tidak diketahui oleh Holmes. Misalnya Holmes mengetahui berbagai jenis racun, bahan-bahan kimia, pengetahuan praktis tentang hukum Inggris, namun tidak tahu apa-apa tentang politik. Bahkan Holmes tidak mengetahui bahwa bumi ini mengelilingi matahari. Bagi Holmes, untuk apa mengetahui fakta bahwa bumi mengelilingi matahari kalau tidak berguna di pekerjaannya?
Sebagai tokoh fiktif, Holmes memang dirancang sebagai detektif yang hebat. Kalau kita mencermati kisahnya dalam novel, sesungguhnya kemampuan Holmes tidak hadir tiba-tiba. Holmes dengan sengaja membangun kemampuannya sendiri. Dalam satu cerita, Holmes menyebut bahwa ia sudah mulai menangani kasus sejak di bangku kuliah. Holmes sudah membangun portofolionya sebagai detektif swasta yang profesional dalam waktu yang lama.
Meskipun sosok Holmes adalah rekaan dari imajinasi Conan Doyle, tapi cara sang detektif meraih kemampuannya dibangun dengan cara yang logis, dan bisa dipraktikkan dalam kehidupan nyata.
Tanpa Anda menjadi Holmes, Anda dapat melatih kemampuan Anda sendiri dengan fokus pada satu bidang pekerjaan tertentu. Sebagaimana yang dilakukan Holmes, Anda harus memperluas basis pengetahuan yang relevan dengan pekerjaan, termasuk menekuni bidang itu dengan memperbanyak pengalaman. Intinya, Anda harus tekun pada bidang kemahiran yang ingin Anda capai.
Oleh karena itu, saya meyakini bahwa keahlian seseorang bukanlah given. Pun, ia bukan hanya sekadar dibasiskan pada passion sehingga seseorang dengan sengaja menekuninya. Passion bisa jadi berkontribusi dalam membentuk kemampuan, tapi yang terpenting adalah bagaimana seseorang melakukannya secara berulang, memperbaiki kesalahan, dan mencoba lagi, lagi, dan lagi.
Saya yakin Anda pasti mengenal Chef Juna, juri Master Chef yang terkenal galak dan sangar. Anda tidak kenal? Silakan googling sendiri. Dalam wawancara dengan seorang host di acara salah satu stasiun TV swasta, Chef Juna pernah ditanya bagaimana kemudian ia menekuni karier sebagai seorang Chef. Kita barangkali akan menduga bahwa Chef Juna mengenyam sekolah formal di bidang kuliner. Atau memang ia memiliki bakat yang istimewa dalam hal masak-memasak.
Kenyataannya? Ternyata tidak. Bahkan yang terjadi sesungguhnya adalah by accident. Masa kecil Chef Juna tidak pernah membayangkan akan berkarier sebagai seorang koki profesional. Chef Juna yang saat itu mengadu nasib di Amerika, bekerja di restauran Jepang, yang dengan tekun mempelajari seni memasak. Pengetahuan yang awalnya nol secara perlahan diisi sehingga ia menjadi expert di bidangnya.
Dengan demikian, kepakaran tidak melulu dimulai dari passion ataupun bakat alami, ia dibentuk dari proses yang panjang; 5 tahun, 10 tahun, bahkan bisa sepanjang hayat.
Itulah mengapa kita harus mulai memikirkan portofolio hidup kita. Portofolio di sini bukan hanya dimaknai dengan catatan atau dokumen fisik bahwa kita pernah mengerjakan ini dan itu. Lebih dari itu, portofolio hidup adalah bagaimana kita membangun basis pengalaman dan pengetahuan yang luas dan relevan agar kita layak disebut pakar di bidang yang kita tekuni. Sekali lagi, membangun basis itu dibutuhkan waktu yang panjang, dan tidak instan.
Di era yang serba 4.0 ini, atau 'titik nol' whatever yang kita sering latah menyebut tanpa tahu maknanya, memungkinkan bagi setiap orang terkoneksi dengan mudah. Derasnya arus informasi terkadang membuat kita semakin sulit untuk memilah mana yang penting dan mana yang tidak penting buat hidup kita. Tapi di sisi lain ini adalah peluang yang besar bagi kita untuk melirik bagaimana orang lain membangun kepakarannya. Meski yang perlu diingat, peluhnya menekuni sesuatu tidak akan pernah terekam dengan indah dalam feeds instagram.
Kita sangat bisa meniru Holmes, dan menjadi Holmes di bidang kita masing-masing. Asalkan kita bisa getol seperti Holmes, maka sangat mungkin kita punya kemampuan pada satu bidang di atas rata-rata, meski tidak menguasai di bidang lain.
Inilah mengapa kita harus membangun portofolio hidup kita. Mulai dari sekarang!
0 comments:
Posting Komentar