Barangkali sudah alamiah bahwa setiap manusia pasti memiliki rasa khawatir. Perasaan ini menjadi semacam sinyal agar seseorang mengambil suatu tindakan sebagai respons terhadap situasi tertentu.
Saya pikir ada dua jenis manusia yang berkaitan dengan rasa khawatir ini. Ada orang yang sangat jarang khawatir: segala situasi yang tampak sulit bisa dihadapi dengan go ahead tanpa banyak dipikirkan. Ada juga orang yang sedikit-sedikit mudah khawatir. Nah, saya ini masuk pada jenis makhluk kedua.
Sebetulnya punya rasa khawatir berlebih itu tidak enak. Coba saja, orang yang gampang khawatir itu diliputi perasaan yang tidak nyaman dalam intensitas yang cukup sering. Lha, mau hidup woles saja kok ya susah. Saya pun tahu bahwa khawatir berlebihan adalah sesuatu yang tidak baik. Seolah kita mendahului takdir Tuhan dengan mengira-ngira kejadian masa depan yang belum tentu terjadi, atau menerka situasi dengan tingkat subyektivitas yang tinggi. Saya sangat mafhum akan hal itu.
Tapi kok ya sulit sekali untuk tidak menjadi orang yang gampang khawatir. Pasalnya, ada banyak fragmen dalam hidup yang selalu saya lalui dengan rasa khawatir. Walaupun sebetulnya, fragmen itu hanyalah sebuah peristiwa yang sepele.
Misalnya begini. Saya sedang melakukan chat dengan seorang teman melalui aplikasi WhatsApp. Entah saya salah atau tidak, saya merasa ada yang berubah dari cara chat dia kepada saya. Seolah saya bisa menerka sudut pandang dia bahwa ada sesuatu yang saya lakukan – pada saat chatting – kepadanya, sehingga, menyinggung perasaannya. Kalau sudah terbangun persepsi itu, pasti perasaan langsung terasa tak enak. Ada semacam perasaan khawatir: “dia marah tidak ya sama saya?”
Kejadian sepele yang serupa soal WhatsApp ini juga terjadi dengan dosen saya. Dalam hal mengontak dosen, saya sangat selektif saat memilih kalimat, frasa, dan kata, termasuk memilih waktu yang pas untuk mengirimkan sebuah pesan WA. Yang saya suka dari dosen saya ini, selalu membalas pesan WA saya yang panjang dengan cepat, meskipun terkesan sekadarnya. Seperti hanya membalas dengan, “ya”, “oke”, atau “saya besok tidak bisa”.
Entah ada angin apa, suatu ketika beliau tidak membalas pesan WA saya dalam waktu lama, padahal sudah centang dua berwarna biru (artinya sudah dibaca). Keesokan harinya, saya mencoba mengirimkan pesan WA lagi, namun masih sama. Ndilalah, saya mengirimkan pesan WA pada waktu yang sangat tidak pas, dan saya yakin itu bisa mengganggunya. Apalagi setelah saya cek, ada pilihan kata yang menurut saya kurang sopan. Yang saya ingat, waktu itu saya ingin bimbingan, tapi kesannya saya agak memaksa untuk bertemu.
Blas, muncul spekulasi di pikiran saya. Saya mengira beliau marah kepada saya. Kekhawatiran semakin menjadi-jadi setelah melihat kenyataan bahwa deadline pengumpulan tugas yang semakin dekat. Meskipun pada akhirnya, kekhawatiran saya sama sekali tidak terbukti. Ternyata saat itu dosen saya sedang di luar negeri, dan dia baru mengontak saya saat kembali ke Jakarta. Menerima pesan WA dari dosen membuat hati dan pikiran saya menjadi tenang.
Itu baru satu hal yang sepele. Pada tingkat peristiwa yang lebih tinggi, biasanya rasa khawatir itu juga semakin tinggi. Beberapa waktu yang lalu saya pernah mengirimkan satu artikel opini kepada sebuah media online yang cukup bonafit: viewers yang banyak dengan kredibilitas teruji. Awalnya saya pikir tidak akan dimuat. Toh, sudah lebih dari seminggu tidak ada kabar. Lalu saya putuskan untuk mengirimkannya ke media online lain yang maqam-nya lebih rendah, dan ternyata terbit.
Selang sehari pasca penerbitan artikel saya, redaktur dari media yang saya kirimkan sebelumnya menghubungi saya melalui surat elektronik (surel). Katanya: “Terima kasih atas artikel yang dikirimkan, tulisan Anda akan segera kami muat. Mohon kirimkan nomor rekening Anda untuk pembayaran honor.”
Bagai disambar petir. Melihat isi surel itu membuat perasaan saya bercampur aduk. Tidak mungkin ada satu artikel yang terbit di dua media yang berbeda. Ini jelas melanggar kode etik. Akhirnya saya membalas surel dari redaktur sembari memohon maaf bahwa artikel tersebut terpaksa saya tarik karena terlanjur terbit di media lain sebelumnya. Setelah itu tidak ada balasan lagi dari redaktur, dan tentu saja artikel saya juga tidak diterbitkan.
Dari situ saya pun menyesal luar biasa. Bukan karena tidak jadi mendapat honor menulis yang angkanya lumayan besar itu, melainkan saya telah melewatkan kesempatan emas untuk menunjukkan eksistensi diri di media yang dibaca banyak orang. Kebanggaan dari pengakuan atas ide, gagasan, dan argumen saya menjadi sirna begitu saja. Masalahnya, bukan hanya soal penyesalan saja, melainkan juga rasa khawatir yang meliput di dalamnya.
Setelah itu saya cukup rutin mengirimkan artikel opini ke media tersebut. Berkali-kali ditolak atau tidak ada respons. Dari situ kekhawatiran saya semakin bertambah: jangan-jangan saya sudah di-blacklist karena menarik artikel yang sudah mereka kurasi? Perasaan khawatir ini cukup membuat pikiran saya tidak nyaman dalam beberapa hari. Meski saya tahu ini adalah hal yang tidak besar, tapi sulit bagi saya untuk menghilangkan kekhawatiran yang dirasakan.
Untung saja di artikel terakhir yang belum lama saya kirimkan, media itu akhirnya menerima dan mau menerbitkannya. Menerima surel bahwa artikel saya lolos, membuat saya lega. Kekhawatiran bahwa saya sudah di-blacklist sebagai penulis di media itu tidak terbukti. Dugaan saya ternyata meleset, dan saya senang akan fakta itu.
***
Sampai titik ini saya merasa bahwa rasa khawatir yang (agak) berlebihan ini semacam sifat alamiah. Barangkali ini dipengaruhi oleh genetika. Saya tidak tahu. Ini hanya spekulasi saja. Kalau saya tarik dari genetik keluarga ayah dan ibu, barangkali rasa khawatir berlebih ini diturunkan dari garis keluarga ayah.
Sebab, saya sering melihat beberapa saudara saya dari pihak ayah, ada juga yang suka khawatir berlebih, dan ini tidak saya temukan dari garis keturunan keluarga ibu. Apalagi kakek saya dari pihak ibu adalah pensiunan tentara, dan beberapa paman saya juga tentara. Walaupun ini bukan bermaksud generalisasi serta-merta, biasanya tentara jarang yang memble, jadi saya pikir mustahil punya rasa khawatir yang berlebih. Mereka dididik dalam kedisiplinan dan ketegasan. Meskipun saya dididik ala disiplin tentara oleh ibu sejak kecil, tapi saya tidak bisa mewariskan sikap tegas. Karena menurut saya, ketegasan adalah sifat yang penting untuk mendegradasi rasa khawatir yang berlebihan.
Terlepas apakah hipotesis itu benar atau tidak, yang ada di dalam diri saya – baik kelemahan maupun kelebihan – adalah given, dan saya tidak bisa menolaknya. Ini adalah bagian dari nikmat Tuhan yang harus saya syukuri.
“Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”, adalah pertanyaan retoris dari Tuhan yang titik tekan sesungguhnya adalah, “banyak sekali nikmat yang diberikan oleh Tuhan, elu berani mendustakannya?”. Tidak, tidak. Saya ngeri. Tak mau saya menjadi pendusta karena mencela kelemahan yang ada di dalam diri saya. Sampai titik ini, saya menganggap bahwa kelemahan dalam diri saya, yang termasuk di dalamnya adalah rasa khawatir yang berlebihan, adalah nikmat berupa ujian dari Tuhan.
Kok ujian itu kenikmatan? Iya dong. Fungsi ujian itu kan untuk menaikkan level seorang hamba ke tingkat yang lebih tinggi. Tuhan pasti akan menguji hamba-hamba-Nya pada titik yang terlemah dengan dua alasan. Pertama, agar manusia sadar akan kelemahannya dan berusaha memperbaiki diri. Kedua, agar manusia bisa menyadari kekuasaan-Nya. Tidak ada surga tanpa pengujian. Tidak ada rahmat tanpa kesabaran dalam menghadapi ujian.
Oleh sebab itulah, perasaan khawatir yang ada dalam diri saya adalah bagian dari ujian itu sendiri. Tuhan memberikan ujian apakah saya terbawa rasa khawatir pada masa depan yang belum pasti terjadi sesuai dugaan, ataukah menyerahkan keyakinan sepenuhnya bahwa masa depan adalah milik Tuhan. Ini jelas ujian tauhid. Kalau kita meyakini bahwa Allah itu Maha Kuasa, ya untuk apa khawatir. Kan begitu.
***
Kekhawatiran berlebih itu masalah yang bisa berdampak pada berbagai aspek. Sebab, itulah yang saya rasakan. Misalnya, karena khawatir menyinggung perasaan orang lain, sangat sulit bagi saya untuk mengatakan “tidak.” Dan yang seperti ini sangat sering terjadi pada diri saya.
Kenyataan ini bahkan disadari oleh seorang teman saya. Ia pernah mengatakan langsung kepada saya dengan logat khas Betawinya: “elu mah orangnya iye-iye aja”. Dan saya tidak bisa menyangkal. Bahkan seorang teman pernah mengejek saya di sebuah grup WA saat ada seseorang yang meminta pertolongan: “minta tolong Grady aja, dia kan mau aja disuruh-suruh, hehe”. Meski dengan nada becanda, tapi itu cukup menohok bagi saya. Artinya, kelemahan saya terkonfirmasi dari kesadaran orang lain.
Ada lagi satu hal yang buat saya sangat berpengaruh dari rasa khawatir berlebih: kurangnya percaya diri. Dari berbagai pengalaman yang saya rasakan, benar saja bahwa kepercayaan diri saya sangat rendah. Dan ini dipicu oleh rasa khawatir berlebih, sehingga kecenderungan saya adalah mengindari risiko. Saya tidak suka berkonflik. Karena saya khawatir dari berkonflik akan menyakiti perasaan orang lain. Memang tidak selalu begitu, tapi sikap akomodatif saya terhadap perasaan orang lain cukup sering ditampilkan.
Dalam sebuah obrolan santai dengan dosen pembimbing, ia pernah nyeletuk kepada saya: “kamu itu punya bakat analisis dan ketelitian, cocok untuk jadi dosen, tapi kamu terlalu pemalu”. Saya senang dipuji. Tapi saya sadar bahwa sebetulnya itu adalah teguran yang pahit. Saya dianggap tidak berani untuk show off, padahal menurutnya saya punya potensi yang memadai. Yah, memang ketidakberanian saya untuk show off semata-mata karena saya khawatir akan “ini” dan “itu”. Makanya kepercayaan diri saya menjadi rendah.
Dari semua itu, lagi-lagi saya tahu itu tidak baik. Usaha untuk memperbaikinya selalu saya lakukan, meski tidak pernah sempurna. Sepertinya satu-satunya cara adalah mengelolanya. Mengontrol adalah cara ampuh yang bisa dilakukan.
Serta, yang lebih penting adalah: menerima dengan legawa, dan tidak lupa untuk mentertawakannya.
0 comments:
Posting Komentar