Sebentar-sebentar. Sampeyan jangan protes dan ngamuk dulu karena baca judul di atas. Sampai detik ini, saya sepakat kok bahwa baca buku itu penting. Seperti kata banyak orang; buku adalah jendela dunia, lentera penerang, sumber pengetahuan, dan bla bla bla lain tentang pentingnya baca buku.
Saya tidak menyangkal itu. Meskipun buat saya, ada tapinya lho.
Awalnya saya agak kepincut dengan fakta bahwa tingkat literasi bangsa Indonesia itu cenderung rendah. Sederhananya, itu diukur dari seberapa intens masyarakat kita membaca buku. Fakta ini selalu diulang-ulang setiap tahun, khususnya pada momen hari buku sedunia. Ironi memang. Kita ini terlihat seperti bangsa pemalas dalam hal membaca, padahal founding fathers kita sangat rajin baca buku, termasuk menulis banyak buku.
Bung Hatta, misalnya. Saat diasingkan ke Digoel, beliau sempat-sempatnya bawa empat peti besar yang isinya buku semua! Apa gak berat ya bawanya? Lalu, Tan Malaka menulis karya fenomenal berjudul madilog saat dipenjara. Beliau mengingat dengan baik isi buku yang pernah dibaca, sehingga sangat mudah baginya untuk menulis buku yang isinya begitu rumit. Pujangga dan ulama seperti Buya Hamka juga sangat rajin membaca, membuat karya-karyanya begitu banyak dan menginspirasi banyak orang.
Kok sekarang malah kita justru jadi malas membaca?
Sebetulnya bukan karena kita malas. Biasanya karena kita cepat bosan saja saat membaca, terutama untuk buku-buku tebal yang tidak ada gambarnya. Saat saya mengunjungi toko buku besar seperti Gramedia saja, baik hari biasa, lebih-lebih hari libur, selalu ramai dikunjungi. Di antrean kasir saya lihat orang-orang menenteng banyak buku, tentu saja untuk membelinya. Meskipun setelah sampai di rumah, entah buku-buku yang sudah dibelinya akan dibaca atau tidak. Ujung-ujungnya sih selalu jadi pajangan di lemari saja.
Entah benar atau tidak dugaan saya, ketidakmampuan kita dalam menghabiskan buku menjadi celah bisnis yang empuk bagi beberapa orang untuk membuat pelatihan dan lokakarya tentang cara membaca buku. Ada yang bertajuk: 'cara membaca buku yang efektif dan efisien', 'cara membaca buku di tengah kesibukan', atau, 'cara membaca buku secepat kilat'.
Buktinya, pelatihan-pelatihan seperti itu selalu dibanjiri peserta. Mereka rela membayar ratusan ribu rupiah hanya untuk tahu bagaimana caranya membaca buku. Ini kan lucu. Selucu saya yang ikut-ikutan membayar hanya untuk tahu bagaimana cara membaca cepat.
Dari situ sebetulnya timbul pertanyaan mendasar: Apakah membaca buku benar-benar penting bagi kita? Jangan-jangan provokasi agar kita rajin membaca buku adalah akal-akalan para penulis dan pelatih 'cara membaca cepat' agar barang mereka laku?
Seperti yang saya sebut di atas, membaca buku itu memang penting. Tapi, pentingnya sangat relatif. Maksudnya?
Begini. Kalau kita telusuri lebih dalam, tujuan dari membaca buku itu kan untuk memperoleh pengetahuan atau menambah wawasan. Ada juga sih yang memang sekadar suka membaca. Tapi kan, kesukaan itu tidak bisa disamaratakan kepada semua orang. Karena intinya, kita membaca buku itu untuk mendapatkan seperangkat informasi atau pengetahuan. Betul apa betul?
Kalau seperti itu, yang penting sebetulnya adalah informasi atau pengetahuannya, bukan bukunya. Kalau kita memahami prinsip ini, maka sebetulnya buku itu hanyalah alat agar kita mendapatkan pengetahuan yang kita inginkan. Dengan kata lain, selama pengetahuan yang kita butuhkan sudah terpenuhi melalui media yang lain, wajar saja jika buku cenderung tidak dibutuhkan. Kecuali kalau pengetahuan lengkap yang dibutuhkan hanya tersedia di buku.
Dengan pesatnya akses terhadap dunia maya, justru membuat segala informasi yang kita butuhkan sangat mudah diraih. Misalnya dengan mendengar podcast, atau menonton YouTube, yang bobot pengetahuannya sama berat dengan sebuah buku. Beberapa orang yang praktis, mendengar podcast atau menonton YouTube saja sudah cukup daripada harus susah payah membaca buku.
Tapi kan, kita jadi gampang terpapar hoax dari internet karena malas membaca buku? Enggak juga kok. Yang benar kita hanya malas verifikasi, atau karena kebetulan isi hoax tersebut bisa memenuhi tuntutan emosi pembacanya. Proses verifikasi itu kan bisa dilakukan melalui perbandingan dengan sumber lain, yang sebetulnya dapat ditemukan di internet juga.
Buat saya, tidak ada pengaruh langsung antara rajin membaca buku dengan mudahnya terpapar hoax. Coba saja, kalau sampeyan yang rajin baca buku pendukung berat Wiwi, lalu ada berita hoax yang menjelek-jelekkan Wowo, sampeyan pasti senang-senang saja kan? Hayoo jujur. Hehehe.
Hal lain yang membuat pentingnya membaca buku itu relatif, adalah tidak semua pengetahuan yang penting bagi sebagian orang, juga penting bagi sebagian lainnya. Misalnya, buku-buku karangan Herbert Marcuse, Michel Foucault, atau Jacques Derrida tentu penting bagi mahasiswa filsafat dan ilmu sosial, tetapi tidak penting bagi mahasiswa teknik mesin.
Walaupun sah-sah saja jika mahasiswa teknik mesin, atau katakanlah mahasiswa ilmu kedokteran hewan, membaca buku-buku filsafat tersebut karena bisa jadi penting menurut beberapa dari mereka. Sebaliknya pun demikian. Mahasiswa ilmu sosial, kalau memang merasa penting untuk mengetahui kanker lebih dalam, sah-sah saja baca buku-buku tentang onkologi.
Jangan sampai karena kita menganggap baca buku itu penting, lalu kita meng-homogenisasi dan generalisasi terhadap semua orang. Kalau kita ingin menjadi ahli di bidang tertentu, wajib hukumnya untuk membaca buku-buku yang relevan. Buat apa baca buku yang tidak relevan?
Kita juga tidak perlu menjadi orang yang harus tahu segala hal. Wong Sherlock Holmes saja gak tahu kalau bumi itu mengelilingi matahari. Karena memang menurutnya ya tidak penting. Sesederhana itu saja.
Mudah-mudahan nangkep ya maksud saya. Memang membaca buku itu tidak penting, bagi orang yang menganggapnya tidak penting. Membaca buku itu penting bagi yang butuh. Jadi ya jangan sampai kita mendewa-dewakan buku.
Seperti kata mas Iqbal Aji Daryono: kebenaran dan hakikat semesta raya tidak akan bisa kita pahami cuma dari buku-buku.
0 comments:
Posting Komentar