"Alhamdulillah, setelah sekian lama, akhirnya hujan turun lagi!"
Celetuk pengemudi ojek daring itu saat kami menyusuri beceknya jalanan di sore yang lumayan gelap. Hari itu memang untuk kedua kalinya hujan turun, setelah penantian kemarau yang cukup panjang. Sempat saya membaca berita, beberapa daerah kekeringan. Tak jauh dari tempat saya tinggal, -- masih di kabupaten Bogor -- satuan Polisi melakukan bakti sosial membagi-bagikan air bersih gratis. Betapa mahalnya air di saat kekeringan.
Saya yakin bahwa celetuk itu bukanlah kalimat spontan tanpa makna. Justru karena spontan itu, ada kesan kuat bahwa hujan deras sudah dinanti-nantikan. Sepanjang perjalanan kami, si pengemudi tak henti-hentinya bercuap-cuap bahwa sudah beberapa hari ini rumahnya kesulitan air. Di tengah obrolan yang gemericik tidak jelas, saya pun menjawab bahwa di rumah saya juga belakangan ini, air jadi agak susah keluar.
Sesaat motor itu berhenti depan rumah, saya buka mantel plastik yang sempat saya kenakan. Saya ucapkan terima kasih kepadanya. Ia pun pergi, dan tidak lama hujan turun semakin deras.
Sembari membersihkan diri di balik pintu kamar, saya pun bertanya-tanya dalam hati:
Bisa saja ia mengecam hujan. Yang namanya sepeda motor, ya mau tidak mau harus nasib hujan-hujanan, dan itu jelas membuat tubuh tidak nyaman. Setahu saya, aplikasi ojek daring biasanya akan error di saat hujan turun dengan deras. Saya tahu ini karena sebelumnya pernah diberitahu oleh seorang kawan yang berprofesi sebagai supir ojek daring.
Tapi sore itu terasa beda. Supir yang sepeda motornya saya tumpangi, tidak ada sedikitpun keluhan meluncur dari lidahnya. Tidak ada rasa kesal karena terpaksa kehujanan. Tidak ada pula rasa kesal karena aplikasi yang jadi kacau. Ekspresi bahagia mengalir deras dengan nada keluguan dan kesederhanaan. Dari situ saya sadar bahwa ada ungkapan syukur yang tulus: seolah dengan turunnya hujan, anak dan istrinya di rumah kini bisa menikmati air yang berlimpah.
***
Fragmen sederhana di atas adalah pukulan telak yang menghantam jiwa saya. Hujan yang dalam kondisi tertentu menjadi sumber masalah, justru di saat yang bersamaan bisa menjadi sumber kebahagiaan. Pengemudi ojek daring itu telah mengajarkan saya bahwa setiap peristiwa itu bisa dimaknai berbeda-beda. Bahkan, perbedaannya bisa sampai pada taraf yang ekstrem.
Suatu peristiwa pada dasarnya adalah netral. Ia akan memiliki makna apabila kita memberikannya pemaknaan melalui sudut pandang tertentu. Hujan adalah peristiwa netral. Kalau kita mengambil sudut pandang negatif, hujan bisa jadi adalah bencana yang menyusahkan. Tapi jika kita mengambil dari sudut yang jauh berbeda, ternyata hujan bisa mendatangkan kebahagiaan. Ya, sama seperti sudut pandang si pengemudi yang saya tumpangi itu.
***
Saya kok jadi teringat lagi dengan konsep barakah. Saat saya membaca buku Salim A. Fillah, barakah itu bisa hadir dalam kondisi suka atau pun duka. Dalam konteks pernikahan, beliau menghadirkan suatu pemaknaan atas doa yang sunnah diucapkan kepada para pengantin:
Baarakallahu laka, wa baaraka 'alaika, wa jama'a bainakuma fii khair
Semoga Allah memberikan barakah kepadamu, dan barakah di atasmu, dan semoga kalian dihimpun dalam kebaikan.
Barakah yang pertama (baarakallahu laka) adalah di kala suka, sedangkan barakah yang kedua (baaraka 'alaika) adalah di kala duka. Jadi sederhananya, doa itu bisa dimaknai: "Semoga Allah memberikan keberkahan kepadamu baik saat suka maupun duka, dan semoga kalian dihimpun dalam kebaikan."
Sepengetahuan saya, para ulama mengartikan barakah adalah kebaikan yang bertambah-tambah. Ibnul Qayyim menyebut barakah adalah kondisi yang membuat seorang hamba semakin dekat dengan Tuhannya. Yang justru jadi menarik adalah, barakah itu adalah situasi yang muncul saat kita sedang senang, maupun susah.
Sebetulnya, "senang" dan "susah" itu adalah soal suasana hati. Fragmen obrolan saya dengan pengemudi ojek daring di atas adalah soal bagaimana kita memaknai suatu peristiwa: entah dengan rasa "suka", maupun dengan rasa "duka". Kedua perasaan itu adalah alamiah. Emosi itu bersifat given. Allah sudah mendisain seperti itu. Tetapi melalui barakah, saat suka maupun duka, ujungnya selalu kebahagiaan.
Sebab itulah barakah adalah kebaikan yang bertambah, dan dari kebaikan itu seorang hamba semakin dekat dengan Tuhannya. Saat senang, seorang hamba tidak lupa dengan nikmatnya. Begitupun saat sulit, ia juga tidak lupa dari Tuhannya. Gejala barakah itu pada akhirnya hanya akan berkutat pada dua hal: syukur dan sabar. Dua hal ini harus dilakukan beriringan.
Bersyukur artinya memberikan pemaknaan atas suatu peristiwa dari sudut pandang "suka." Lagi-lagi contoh soal hujan di atas sangat tepat untuk menggambarkan maksud dari rasa syukur ini. Begitupun dengan sabar. Saat ada suatu peristiwa yang benar-benar tidak membuat hati nyaman, sudut pandang "suka" itu membuat seorang hamba menjadi sabar. Karena memang Allah bersama dengan orang yang sabar. Innallaha ma'ashshabirin. Itu janji Allah, tidak akan meleset sedikit pun.
Itulah barakah! Entah suka ataupun duka, muara akhirnya selalu bahagia. Pertanyaannya, bagaimana menghadirkan barakah itu? Coba renungi ayat ini:
"Jikalau sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka barakah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya" (Q.S. Al-A'raf: 96)
Ada iman. Ada taqwa. Syukur dan sabar adalah implikasi dari keimanan dan ketaqwaan. Lawannya adalah kemaksiatan. Sekecil apapun maksiat, akan mempengaruhi barakah. Nah! Jangan-jangan, sulitnya kita dalam mendeteksi barakah, karena masih ada kemaksiatan dalam diri yang luput dari evaluasi.
Tersebab itu, mari kita hadirkan barakah dari membersihkan diri. Mengucap istighfar. Astaghfirullahal 'adzim.
0 comments:
Posting Komentar