Mengapa komoditas seperti barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi sehari-hari memiliki harga? Beras, telur, dan minyak goreng di pasar memiliki harga. Panci, kompor, dan piring di dapur memiliki harga. Begitupun jasa transportasi seperti ojek dan taksi memiliki harga. Hal-ihwal yang ada di sekeliling kita memiliki harga, sekalipun itu dianggap tidak berguna sama sekali bagi kita.
Guna menjawab pertanyaan itu, kita bisa dengan mudah mengingat kembali pelajaran ekonomi dasar di bangku sekolah, yaitu mekanisme pasar. Dalam mekanisme pasar, terjadilah pertemuan antara permintaan (demand) dan penawaran (supply). Harga akan terbentuk manakala sisi permintaan dan penawaran mencapai titik keseimbangan, atau dikenal dengan istilah ekuilibrium. Ketika permintaan tinggi dan penawaran rendah, otomatis harga akan tinggi. Sebaliknya, ketika penawaran tinggi dan permintaan rendah, harga akan jatuh.
Sebelum pandemi Covid-19 melanda, masker yang dijual di pasar memiliki harga relatif murah. Akibat tingginya permintaan akan masker karena wabah (dan aturan dari pemerintah), harga masker melambung tinggi. Kita masih ingat di awal pandemi bagaimana harga masker mendadak naik secara tidak masuk akal. Kemudian berangsur turun ketika jumlah masker di pasar (supply) semakin meningkat dan harganya dianggap kembali normal. Kenapa demikian? Jawabannya karena gap antara permintaan dan penawaran tidak terlalu tinggi.
Dari asumsi dasar ekonomi di atas membuat kita sampai pada kesimpulan, bahwa harga komoditas baru muncul ketika berada di aras sirkulasi (pasar). Kita juga akan sampai pada kesimpulan bahwa harga dan nilai adalah sesuatu yang identik bahkan sama. Harga adalah nilai itu sendiri. Komoditas dengan demikian tidak memiliki nilai dengan sendirinya. Proses tukar-menukarlah yang membuat komoditas itu bernilai atau berharga.
Kendati penjelasan di atas sederhana, kenyataannya asumsi tersebut menjadi dasar dalam perumusan berbagai kebijakan ekonomi. Misalnya, ketika bahan pokok seperti bawang dan cabai menjadi mahal di pasar, pemerintah melakukan impor agar harganya kembali stabil. Dalam situasi ini bisa saja permintaan atas bawang dan cabai tidak terlalu fluktuatif dari waktu ke waktu. Namun, meningkatnya harga bawang dan cabai terjadi karena ada gangguan dari sisi penawaran: misalnya gagal panen, cuaca buruk, dan kondisi-kondisi tidak normal saat proses produksi. Gangguan itu membuat supply bawang dan cabai menjadi turun, dan otomatis, harga terpaksa naik.
Penjelasan yang mirip-mirip juga dapat kita temui dalam karya sosiolog cum filsuf Georg Simmel, the philosophy of money. Pada bagian analisis (analytical part), singkatnya Simmel menyebut bahwa harga atau nilai (Simmel juga mengidentikkan keduanya) ditentukan berdasarkan kelangkaan (scarcity) dan pengorbanan (sacrifice). Simmel berangkat dari premis bahwa keinginan terhadap komoditas beroposisi dengan subyek itu sendiri. Maksudnya, keinginan terjadi karena seseorang belum bisa menikmati komoditas tersebut.
Suatu komoditas yang ada di pasar tentu jumlahnya terbatas. Semakin terbatas jumlahnya, maka semakin langka barang tersebut. Banyak orang menginginkan komoditas itu membuat perebutan tidak terhindarkan. Dalam proses mencapai keinginannya terhadap komoditas itu, seseorang mau tidak mau harus berkorban. Dengan kata lain, karena harga ditentukan pada aras sirkulasi, tidak dapat dihindari bahwa penetapannya sangat bergantung pada hasrat manusia sebagai konsumen.
Cara pandang tersebut menjadi masuk akal untuk menjelaskan mengapa komoditas yang sama sekali tidak ada gunanya, secara tidak logis harganya sangat mahal. Saat Lionel Messi berpamitan dari klub bola Barcelona, ia meneteskan air mata dan menyingsring (membuang ingus dengan memijit hidung) menggunakan tisu. Sangatlah konyol ketika ada orang yang menjual tisu bekas Messi itu dengan harga 14 miliar rupiah. Akan lebih lucu lagi jika ternyata benar-benar ada orang yang mau membelinya.
Tisu memang barang yang berguna. Namun siapa yang mau memakai tisu bekas orang lain? Kita bisa saja setuju dengan alasan orang yang menjual tisu bekas Messi, bahwa ingus yang dibuang mengandung materi genetik dari pesepakbola tersohor dunia. Dalam konteks ini yang berharga bukanlah tisunya, tetapi ingusnya Messi. Tetapi tetap saja ingus (sekalipun milik Messi) sama sekali tidak berguna.
Dahulu, ekonom klasik Adam Smith sempat kebingungan dengan paradoks nilai yang ia rumuskan sendiri. Namanya paradoks air dan berlian. Mengapa air yang sangat berguna bagi kehidupan manusia justru tidak memiliki nilai? Tentu jangan bayangkan pada saat itu air diperjual belikan seperti sekarang. Sebaliknya, mengapa berlian yang tidak memiliki kegunaan justru bernilai sangat tinggi?
Rentetan premis Simmel dan kebanyakan ekonom hari ini (mungkin) akan menjawab, karena yang disebut kegunaan (utilitas) bukan hanya masalah “berguna”, tetapi juga “keinginan”. Utilitas berkenaan dengan hasrat manusiawi yang sifatnya sangatlah subyektif–psikologis. Selain itu, utilitas juga relatif terhadap waktu dan tempat tertentu. Dalam paradoks nilai yang diungkapkan Smith, pada kondisi normal berlian dianggap jauh lebih berharga daripada sebotol air. Tetapi dalam situasi di mana kita terdampar di hamparan gurun pasir, segunung berlian tidak akan berarti apapun dibanding sebotol air.
Kelompok ini disebut sebagai kubu teori nilai-utilitas yang berkembang sejak era ekonomi neoklasik dan masih mendominasi wacana perekonomian dunia hingga saat ini. Dari paradigma utilitas, ekonomi dipandang sebagai masalah distribusi berbagai sumber daya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Problem ini menjadi rumit karena sumber daya memiliki sifat terbatas, sedangkan keinginan manusia tidak terhingga.
Bahkan para ekonom neoklasik seperti Pareto, Jevons dan Menger mengkuantifikasi hasrat manusia. Kalau Anda pernah melakukan survei, dapat dipastikan Anda pernah mengukur tingkat kepuasan (yang sejatinya sangat subyektif) ke dalam interval tertentu. Apabila sangat tidak puas dinotasikan dengan angka “1”, sedangkan sangat puas dengan angka “10”. Responden survei Anda bebas memilih angka berapapun sejauh tidak keluar dari rentang yang telah Anda tetapkan. Logika seperti inilah yang digunakan para ekonom tersebut.
Hasrat seseorang terhadap komoditas bergantung pada sejauh mana keinginannya mampu terpenuhi. Anda meminum segelas es kelapa di kala haus akan terasa sangat nikmat. Tetapi ketika Anda meneguk gelas kedua, kenikmatannya berkurang. Anda baru merasakan kembung saat memasuki gelas ketiga. Pada saat hasrat terpenuhi, barulah Anda tidak mau meminum es kelapa lagi untuk rentang waktu tertentu. Bagi penganut paradigma utilitas, ilustrasi es kelapa tersebut adalah manifestasi dari apa yang mereka sebut sebagai ‘utilitas marginal’: tingkat kepuasan seseorang terhadap benda atau komoditas tertentu.
Sekali lagi, aktivitas ekonomi kita sehari-hari digerakkan oleh masalah-masalah utilitas. Dalam aspek makro, hasrat itu bisa dibentuk dari serangkaian propaganda tentang gaya hidup ideal. Pemberian label brand seperti Gucci dan Louis Vuitton membuat tas dan baju menjadi barang mewah serta mahal melampaui elemen dasar kegunaannya. Secangkir kopi di kafe bisa dihargai sangat tinggi karena konsumen bukan hanya membeli segelas kopi itu sendiri, melainkan juga seperangkat sensasi dan gaya hidup yang hadir di dalamnya.
Keadilan dalam Pertukaran
Sekarang kita naik mesin waktu, dan pergi ke Yunani era sebelum masehi untuk menemui Aristoteles. Filsuf ini pernah mempertanyakan problem berikut: bagaimana suatu komoditas dapat ditukar dengan komoditas lain secara adil? Bagaimana bisa kita menyatakan bahwa sekarung beras dapat ditukar dengan sepasang sepatu? Karl Marx yang mengikuti alur logika Aristotelian, melalui bab komoditas di buku Kapital menotasikannya dalam persamaan berikut:
x komoditas a = y komoditas b
“x” dan “y” di atas merujuk pada elemen kuantitatif, sedangkan “a” dan “b” merujuk pada jenis barangnya. Marx mengilustrasikannya dengan sejumlah kain linen yang ditukar dengan sejumlah jaket. Ketika berbicara pertukaran, kita akan sampai pada fondasi di bawahnya, yaitu keseukuran. Satu benda dapat ditukar dengan benda lain manakala keduanya seukur. Lalu pertanyaan berikutnya, apa yang membuat benda-benda itu seukur?
Jawabannya adalah kerja, yang pada akhirnya membentuk nilai dari komoditas. Aliran ini dianut oleh para ekonom klasik seperti Adam Smith dan penerusnya David Ricardo, hingga Marx. Smith meyakini bahwa nilai komoditas dibentuk oleh tiga komponen utama yang merupakan ongkos produksi, yaitu kerja, tanah, dan modal. Sedangkan Ricardo mereduksinya kembali menjadi hanya kerja, karena tanah dan modal dibentuk oleh elemen dasar yaitu kerja itu sendiri.
Berdasarkan logika Smith dan Ricardo, kita dapat menemukan kontras dengan para penganut teori nilai-utilitas. Di sini tampak jelas bahwa Smith dan Ricardo memisahkan antara nilai dan harga. Apabila harga terbentuk melalui mekanisme pasar, sementara nilai justru dapat terbentuk tanpa harus dipertukarkan terlebih dahulu. Nilai, dalam hal ini disebut sebagai ‘harga alamiah’ atau harga sesungguhnya sebelum komoditas tersebut masuk pasar.
Katakanlah untuk memproduksi sepotong celana jeans dibutuhkan waktu kerja selama lima jam. Waktu lima jam kerja, jika dinominalkan harganya adalah Rp 50.000 karena secara sosial, sudah ada kesepakatan bahwa satu jam kerja setara Rp 10.000. Dengan demikian, harga Rp 50.000 adalah harga alamiah yang mengekspresikan secara moneter atas nilai dari sepotong celana jeans. Apakah produsen akan menjualnya di pasar dengan harga yang sama? Logikanya tidak.
Produsen pasti ingin mendapatkan untung, dan menjualnya katakanlah dengan harga Rp 60.000 di pasar. Terjadilah tawar-menawar, yang membuat harga sepotong celana jeans dapat berubah baik lebih kecil atau lebih besar dari harga alamiah. Tentu produsen memperhatikan kompetitor lain sebelum menetapkan harga di pasar agar tidak rugi. Namun, dalam rentang waktu tertentu, harga di pasar akan kembali lagi kepada harga alamiah atau nilai sesungguhnya. Itulah mengapa harga di pasar disebut juga sebagai ‘harga temporal’. Meskipun demikian, penjelasan Marx sebagai penganut teori nilai-kerja tidaklah sama seperti Smith dan Ricardo.
Kembali pada masalah keseukuran. Pada intinya, kubu yang kita sebut sebagai penganut teori nilai-kerja mendasarkan keseukuran pada persamaan waktu kerja. Apabila untuk memproduksi 10 potong celana jeans membutuhkan 50 jam kerja dan 10 potong jaket membutuhkan 100 jam kerja, berarti, agar dapat dipertukarkan kuantitasnya menjadi: 20 potong celana jeans = 10 potong jaket. Inilah yang membuat pertukaran dianggap adil.
Patut menjadi catatan bahwa waktu kerja di sini haruslah dimaknai sebagai waktu kerja secara sosial (socially necessary labour time) dalam penjelasan Marx. Maksudnya, ada standar waktu kerja yang berlaku secara umum untuk memproduksi komoditas tertentu. Misalnya, pada suatu masa, waktu standar secara sosial untuk memproduksi sebuah kain adalah 10 jam. Beberapa tahun kemudian, terjadi perkembangan teknologi (seperti mesin jahit) yang membuat waktu standar untuk memproduksi sebuah kain menjadi 5 jam. Penurunan waktu kerja ini bukan berarti nilai kain tersebut menjadi turun. 10 jam di tahun x dari sebuah kain bernilai sama dengan 5 jam di tahun y. Itulah mengapa disematkan frasa “secara sosial”, dan sejatinya kondisi ini bergantung pada sistem pembagian kerja dari masyarakat tertentu.
Problem Nilai-Utilitas
Tidak dapat dipungkiri bahwa nilai dan/atau harga adalah jantungnya aktivitas ekonomi. Sekalipun pernah terjadi pertarungan sengit antara kedua kubu, kenyataannya paradigma nilai-utilitas saat ini adalah pemenangnya. Nilai-utilitaslah yang kemudian menyokong ekonomi kapitalistik. Oleh karena itu, kita dapat melihat bahwa beragam ketidakadilan sistem kapitalisme, sejatinya berakar pada pengabaian terhadap elemen ‘kerja’ sebagai pembentuk nilai.
Seperti dijelaskan di muka, harga dan nilai dalam sudut pandang teori nilai-utilitas adalah identik. Harga dapat terjadi hanya jika komoditas telah masuk mekanisme pasar. Memang benar bahwa produsen akan menetapkan harga dengan pertimbangan ongkos produksi di mana elemen kerja termasuk di dalamnya. Tetapi, harga yang ditetapkan pada akhirnya tetap bergantung pada sejauh mana selera konsumen. Bukankah dalam teori manajemen, agar bisnis kita laku, maka harus mampu menangkap peluang pasar (selera konsumen)?
Masalah nilai-utilitas yang menjadi jantungnya kapitalisme ini merembet pada persoalan upah pekerja. Hal ini karena logika penetapan nilai yang digunakan berangkat dari aras sirkulasi kemudian memengaruhi aras produksi. Maksudnya adalah, harga yang berlaku di pasar membuat produsen harus menyesuaikannya kembali pada sisi produksi. Karena produksi berasal dari bahan baku yang didapat dari pasar juga, biasanya produsen akan mengutak-atik ongkos yang berasal dari tenaga kerja karena lebih mudah. Akibatnya adalah para pekerja itu diupah lebih murah. Ini menjadi masalah umum yang seringkali kita temui.
Untuk memperjelas kasus ini ada baiknya bagi kita melirik konsepsi nilai-lebih Marx. Lalu kita lihat-lihat lagi bagaimana mekanisme pasar bekerja. Perhatikan ilustrasi kasus berikut.
Sebuah pabrik penghasil celana jeans memerlukan sarana produksi berupa bahan dasar kain dan mesin jahit serta sejumlah tenaga kerja tertentu. Bahan dasar kain dan mesin jahit tentu saja dibeli melalui pasar. Sedangkan tenaga kerja didapatkan melalui pasar tenaga kerja. Komponen untuk kepentingan produksi itu didapat karena adanya titik ekuilibrium dari mekanisme pasar sebelumnya. Apabila celana jeans hasil produksi juga berhasil dijual dengan harga tertentu karena mencapai titik ekuilibrium, darimana pemilik pabrik mendapatkan laba?
Dengan pengandaian di atas, menjadi tidak masuk akal ketika laba yang dihasilkan pemilik pabrik diperoleh dari selisih harga pasar dengan ongkos produksinya. Tidak logisnya ini terjadi karena baik saat membeli bahan baku maupun menjual produk jadinya, sama-sama berada dalam titik ekuilibrium dari suatu mekanisme pasar. Andai ada laba dari hasil mekanisme pasar, bisa saja bahan baku dijual lebih tinggi dan membuat si pemilik pabrik tidak dapat memproduksi celana jeans. Karena pengandaian bahwa produsen mendapatkan laba di aras sirkulasi, sudah pasti mereka menjualnya dengan harga lebih tinggi agar untung (sebesar-besarnya). Tetapi itu mustahil karena akan menganggu rantai produksi dan keseimbangan pasar. Oleh karena itu, kita bisa menutup kemungkinan bahwa laba diperoleh karena kecerdikan produsen dalam menangkap peluang pasar.
Dengan demikian, kemungkinan paling besar untuk mendapatkan laba adalah dari faktor tenaga kerja. Bagaimana caranya?
Dalam kapitalisme, tenaga kerja tidak lain seperti komoditas karena dipertukarkan di pasar. Karena sifatnya sebagai komoditas, tenaga kerja memiliki nilai-pakai dan nilai itu sendiri. Nilai-pakai dari tenaga kerja mewujud dalam sejumlah produk yang dapat dihasilkan dalam kurun waktu tertentu. Misalnya, seorang buruh memiliki sejumlah nilai-pakai tenaga kerja yang setara dengan memproduksi 20 potong celana jeans dalam sehari. Sementara nilai dari tenaga kerja mewujud dalam nilai yang secara proporsional setara dengan syarat produksi tertentu. Kembali pada ilustrasi pabrik di atas.
Seorang pekerja menjual curahan kerjanya kepada pemilik pabrik celana jeans. Pekerja itu membutuhkan uang minimal Rp 200.000 untuk mereproduksi curahan kerjanya dalam sehari. Sejumlah uang itulah yang dibayarkan oleh pemilik pabrik sebagai upah. Sementara dari sisi nilai-pakainya, si pekerja mampu memproduksi 20 potong celana jeans yang setara dengan Rp 500.000. Ada selisih Rp 300.000 yang mana, uang tersebut masuk ke kantong pemilik pabrik. Selisih itulah yang disebut sebagai laba atau nilai-lebih.
Agar mendapatkan pemahaman lebih baik, mari kita beralih ke ilustrasi kasus lainnya: penetapan upah minimum regional (UMR). Sebut saja pemerintah provinsi X menetapkan angka UMR senilai Rp 2.000.000. Angka ini dihasilkan melalui komponen biaya satuan (unit cost) minimal yang dibutuhkan seorang pekerja untuk tetap dapat hidup dan bekerja dalam sebulan. Komponen itu terdiri atas makan, minum, sewa tempat tinggal, alat mandi, pakaian, dst. Sementara dari sisi nilai-pakai, pekerja otomotif di provinsi X mampu menghasilkan jasa perbaikan kendaraan yang jika dikalkulasikan, nilainya mencapai Rp 5.000.000 dalam satu bulan. Andaikan si pemilik perusahaan membayarkan upah senilai UMR, ada selisih nilai-lebih Rp 3.000.000 yang kemudian masuk ke kantor pengusaha sebagai laba.
Seperti itulah laba dihasilkan. Sebagaimana yang disebutkan Marx, bahwa nilai-lebih tidak lain adalah selisih antara nilai-pakai dan nilai dari tenaga kerja. Dalam sistem kapitalisme yang mendaraskan asumsinya pada nilai-utilitas, selisih tersebut sama sekali diabaikan. Hal ini pula yang membuat definisi upah layak menjadi berbeda dari sisi penganut nilai-utilitas dan nilai-kerja.
Bagi penganut nilai-utilitas (ekonom arus utama), upah layak hanya dimaknai sejauh tenaga kerja dapat hidup sesuai dengan standar yang berlaku. Sementara bagi penganut nilai-kerja, upah layak dapat terjadi apabila upah yang dibayarkan kepada pekerja setara dengan kapasitas curahan kerja sebagai manifestasi nilai-guna dari pekerja itu sendiri.
0 comments:
Posting Komentar