Tulisan ini adalah potongan dari makalah yang saya kumpulkan sebagai ujian akhir semester (UAS) untuk mata kuliah teori-teori sosial program magister Sosiologi UI akhir 2020 lalu. Saya hadirkan kembali di sini untuk mengantarkan pembaca sekalian dalam memahami paradigma, metodologi, dan pemikiran tentang dunia modern dari salah satu The Big Three dalam khasanah sosiologi klasik, yaitu Max Weber.
***
Pemikiran sosiologi Weber berangkat dari konteks akademik di mana terjadi perdebatan intelektual di masa-masa kehidupannya. Perdebatan intelektual yang dimaksud adalah bagaimana relasi antara sejarah dan sains, di mana pada awal kehidupa karirnya, Weber begitu tertarik dengan sejarah. Perdebatan itu, sebagaimana dikatakan George Ritzer:
“At the poles in this debate were those (the positivists [Halfpenny, 2005]) who thought that history was composed of general (nomothetic) laws and those (the subjectivists) who reduced history to idiosyncratic (idiographic) actions and events” (George Ritzer, 2011: 113).
Menurut Ritzer, perdebatan intelektual terjadi antara kalangan obyektivisme yang menganggap bahwa sejarah dibentuk dari hukum-hukum umum, sedangkan kalangan subyektivisme menganggap sejarah adalah gambaran-gambaran yang mendetail dan spesifik, bukan generalisasi. Perdebatan intelektual itu tergambar dari perkembangan ilmu sosial pada masa awal yang didominasi oleh positivisme yang ingin meniru disiplin ilmu alam: semata-mata agar ilmu sosial dianggap sebagai sains. Disiplin ini pada mulanya dibawa oleh Auguste Comte, namun berkembang pesat sejak Durkheim meletakkan formulasi metodologis aliran positivistik dalam karyanya the rules of sociological method.
Max Weber berusaha untuk keluar dari perdebatan obyektivisme-subyektivisme dengan menganggap bahwa meniru disiplin ilmu alam ke dalam ilmu sosial adalah tidak memungkinkan. Dalam ilmu sosial, subyek yang dikaji adalah manusia, bukan benda mati. Bagi Weber, tiap-tiap manusia memiliki kapasitas untuk merefleksikan, memahami, dan menginterpretasikan terhadap norma dan nilai yang melingkupi dirinya. Weber tidak menghilangkan faktor seperti norma sosial sebagaimana suyektivisme. Namun, norma tersebut diresapi dan diinterpretasikan oleh tiap-tiap individu sehingga menghasilan output perilaku yang beragam. Dalam tulisannya tentang basic sociological concept, Weber mendefinisikan sosiologinya sebagai:
“…a science that in construing and understanding social action seeks causal explanation of the course and effects of such action. By “action” is meant human behaviour linked to a subjective meaning on the part of the actor or actors concerned; such action may be either overt, or occur inwardly—whether by positive action, or by refraining from action, or by tolerating a situation. Such behaviour is “social” action where the meaning intended by the actor or actors is related to the behaviour of others, and the action is so oriented” (Max Weber, 2019: 78-79).
Berdasarkan definisi di atas, konsep kunci yang menjadi dasar sosiologi Max Weber adalah tindakan sosial. Sebagaimana yang ia katakan, tindakan (action) adalah perilaku manusia yang berkaitan erat dengan apa yang Weber sebut sebagai makna subyektif (subjective meaning). Weber menyebut meaning sebagai pemaknaan individu terhadap pengalaman historis maupun nilai-nilai yang meliputi kehidupan individu tersebut. Dengan demikian, pemaknaan subyektif tiap-tiap individu dapat berbeda. Kondisi inilah yang membuat Weber menolak generalisasi.
Dalam hal ini, tampak Weber ingin membedakan secara tegas antara action dan behavior. Weber mengatakan bahwa keliru jika memandang psikologi (yang berbasikan behavior) adalah basis interpretasi sosiologis atas tindakan. Sosiolog memang tertarik terhadap proses mental manusia, namun ia tidaklah sama seperti psikolog yang mengkaji isi pikiran, kepribadian, dan lain sebagainya (Ritzer, 2011: 126). Untuk itulah Weber membedakan konsep tindakannya dari perilaku, agar menunjukkan bahwa apa yang sedang ia bahas tidaklah seperti psikologi. Agar mendapatkan gambaran yang jelas mengenai perbedaan antara tindakan sosial dengan perilaku, dapat dilihat pada pernyataan Weber berikut:
“There is an entirely fluid border separating meaningful action from what is here called merely reactive behaviour, that is, behaviour unrelated to a subjectively intended meaning… Meaningful action, in other words action that can be understood, is in many cases entirely absent from psychophysical events, or is in other cases only evident to the specialist” (Max Weber, 2019: 79).
Cukup jelas dari pernyataam Weber di atas, menunjukkan bahwa behavior tidaklah berkaitan dengan makna subyektif. Sepanjang aksi manusia tidak berkaitan dengan pemaknaan subyektif, itu bukanlah tindakan sosial. Dalam logika lainnya, tindakan sosial memang menunjukkan perilaku, namun ia harus berbasiskan pada makna subyektif. Banyak perilaku manusia yang ditampilkan semata-mata karena reaksi: membuka payung ketika turun hujan atau menghindari kendaraan yang tiba-tiba akan menabrak. Reaksi itu bukanlah tindakan sosial sebagaimana pengertian Weber.
Penekanan tentang tindakan sosial dan pemaknaan subyektif adalah kunci untuk memahami sosiologi Max Weber. Sebab, berangkat dari konsep tersebut, kita dapat memahami konsep-konsep Weber lainnya yang saling berkaitan. Konsep berikutnya yang memiliki keterkaitan erat dengan tindakan sosial adalah tipe ideal (ideal type), dan akan menyinggung tentang apa yang disebut oleh Weber sebagai verstehen. Konstruksi dari konsep-konsep tersebut akan menunjukkan bagaimana posisi metodologi Max Weber dibangun. Weber mendefinisikan tipe ideal sebagai berikut:
“An ideal type is formed by the one-sided accentuation of one or more points of view and by the synthesis of a great many diffuse, discrete, more or less present and occasionally absent concrete individual phenomena, which are arranged according to those one-sidedly emphasized viewpoints into a unified analytical construct (gedankenbild) In its conceptual purity, this mental construct (gedankenbild) cannot be found empirically anywhere in reality. It is a utopia” (Max Weber, 1949: 90).
Weber ingin menekankan bahwa tipe ideal berangkat dari asumsi atas kenyataan empirik di lapangan yang kemudian dibentuk semacam klasifikasi atas isu-isu tertentu dalam sebuah tipologi. Tidak hanya berdasarkan amatan empirik, tipe ideal juga dapat dikonstruksikan berdasarkan konteks historis tertentu. Namun yang sangat penting, tipe ideal bukanlah sesuatu yang benar-benar terjadi persis di lapangan. Sebagaimana asal katanya, yaitu “ideal”, menjadikan sesuatu itu pada dasarnya utopis.
Dengan premis tipe ideal yang dibangun, Weber kemudian membuat tipologi tindakan sosial ke dalam empat tipe (Weber, 2019: 101). Pertama, rasional-instrumental yang mengharapkan reaksi individu lain untuk bertindak sesuai dengan apa yang ditujukan aktor tertentu. Secara instrumental, tindakan aktor akan mengutamakan kalkulasi dan bagaimana mencapai efisiensi. Kedua, rasional-nilai, di mana tindakan sosial-rasional berdasarkan pada dorongan nilai tertentu yang berasal dari, katakanlah etika atau agama. Ketiga, afektual, di mana tindakan sosial didasarkan pada sentimen emosional. Keempat, adalah tradisional di mana tindakan sosial didasarkan pada kebiasaan yang telah “mendarah daging”.
Tipologi tindakan sosial Weber haruslah dipahami sebagai kerangka tipe ideal. Sehingga, tindakan sosial dalam kenyataan empirik tidaklah sepenuhnya menggambarkan empat tipe tersebut secara kaku. Dalam amatan, misalnya, ada orang yang memiliki pemaknaan subyektif berbasiskan instrumental di satu sisi, namun dorongan agama juga turut berpengaruh dalam tindakan (tindakan berbasis nilai).
Pertanyaannya, mengapa perlu tipe ideal? Pertanyaan ini akan terjawab apabila memandang Weber dalam jendela metodologi, terutama berkaitan dengan isu obyektivitas. Lalu bagaimana obyektivitas menurut Weber? Bagi Weber, kriteria pengetahuan yang ilmiah dapat dilihat dari validitas obyektif hasil-hasilnya (Goddard, 1973: 16). Untuk itu perbincangan tentang obyektivitas akan dilihat pada sejauh mana nilai-nilai keyakinan dari seorang peneliti memengaruhi proses penelitiannya. Sebagaimana dikatakan pada bagian sebelumnya, konteks pemikiran Weber lahir dalam perdebatan subyektivisme dan obyektivisme, yang dalam dialog metodologis, apakah pengetahuan yang dihasilkan haruslah bebas nilai (value-free) atau tidak.
Weber berusaha untuk mengambil jalan tengah, dengan memperkenalkan apa yang disebut sebagai value-free dan value-judgement. Bagi Weber, agar ilmu sosial tetap berkarakter saintifik, nilai-nilai peneliti tidak boleh masuk ke dalam proses berpengetahuan, oleh sebab itulah ilmu sosial harus value-free. Kemudian, peneliti tidak diperbolehkan untuk value-judgement, dalam arti menghakimi nilai-nilai yang dianut orang lain. Posisi metodologisnya diungkapkan Weber sebagai berikut:
“It is certainly not that value judgments are to be withdrawn from scientific discussion in general simply because in the last analysis they rest on certain ideals and are therefore "subjective" in origin. Practical action and the aims of our journal would always reject such a proposition criticism is not to be suspended in the presence of value judgments. The problem is rather what is the meaning and purpose of the scientific criticism of ideals and value judgments? This requires a somewhat more detailed analysis. All serious reflection about the ultimate elements of meaningful human conduct is oriented primarily in terms of the categories ‘end’ and ‘means’” (Max Weber, 1949: 52).
Penjelasan Weber di atas menunjukkan bahwa value-judgement tidak seharusnya dilakukan karena setiap orang adalah subyektif secara asalinya - Weber menyebutnya dengan istilah subjective in origin. Setiap orang adalah individu yang khas dengan basis nilai masing-masing, yang menurut Weber, semestinya harus dihargai. Karena itulah bagi Weber, ilmu sosial membongkar meaningful human conduct sebagai tujuan akhirnya (means-end framework). Dengan kata lain, obyektivitas tetap menjadi hal penting dalam kerangka metodologi Weber.
Tipe ideal, sebagai konsep yang diperkenalkan Weber adalah tools agar ilmu sosial menjadi obyektif. Tipe ideal adalah instrumen atau alat ukur yang menyediakan ukuran obyektif bagi data empirik. Secara teknis, ketika seorang peneliti menggali data lapangan, tipe ideal adalah asumsi yang menjadi acuan analisis bagi data yang telah atau sedang dikumpulkan. Sudah menjadi tanggung jawab sosiolog, bagi Weber, untuk membangun sebuat alat-alat konseptual yang dapat digunakan bagi para sosiolog selanjutnya (Ritzer, 2011: 119).
Pertanyaan berikutnya, bagaimana data lapangan digali oleh seorang peneliti? Jawabannya adalah melalui verstehen atau disebut juga sebagai understanding: strategi untuk menggali pemaknaan subyektif dari subyek-subyek yang dikaji. Weber menegaskan bahwa verstehen bukanlah prejudis, namun sebagai means, atau metode (Weber, 2019: 82). Banyak yang keliru dalam memahami maksud Weber tentang verstehen, sebagaimana dikatakan George Ritzer:
“One common misconception about verstehen is that it is simply the use of “intuition” by the researcher. Thus many critics see it as a “soft,” irrational, subjective research methodology. However, Weber categorically rejected the idea that verstehen involved simply intuition, sympathetic participation, or empathy (1903–1917/1949). To him, verstehen involved doing systematic and rigorous research rather than simply getting a “feeling” for a text or social phenomenon. In other words, for Weber (1921/1968) verstehen was a rational procedure of study” (George Ritzer, 2011: 117).
Banyak kalangan yang menuduh bahwa metode verstehen adalah penggunaan intuisi peneliti, irasional, dan metodologi yang subyektif. Padahal Weber menolak simplifikasi demikian. Bagi Weber, verstehen adalah prosedur rasional dalam penelitian. Untuk itulah Weber menegaskan dalam metodologinya bahwa obyektivitas itu penting: peneliti haruslah bebas nilai (value-free) dan tidak boleh menghakimi nilai yang dianut subyek lain (value-judjement). Selain itu, agar obyektivitas tetap on the track, seorang peneliti harus memiliki basis asumsi berupa tipe ideal, yang ia dapatkan baik dari konteks historis tertentu, observasi komprehensif, maupun berangkat dari hasil penelitian sebelumnya.
Menuju Masyarakat Kapitalistik
Weber memandang dunia yang disaksikan saat ini sebagai manifestasi atas tindakan-tindakan sosial. Manusia akan memilih sasaran, dan menentukan strategi berdasarkan pemaknaan yang diyakini masing-masing untuk menentukan tindakan-tindakan (Jones, Bradbury & Boutillier, 2016: 117). Untuk melihat bagaimana Weber memandang perubahan sosial, dapat dilihat dari karyanya mengenai masyarakat dan ekonomi (economy and society). Sebagaimana dikatakan Guenter Roch dalam pengantar tulisan Weber, economy and society adalah perancah bangunan sosiologis atas pertanyaan besar tentang asal-usul dan arah yang mungkin terjadi dari perkembangan dunia modern (Weber, 1978: xxxv). Di sini, Weber berupaya untuk menerapkan disiplin metodologi dalam menjelaskan dunia modern dan terutama kapitalisme (Weber, 1978: xxxvi).
Pertanyaan Weber tentang dunia modern, sebagaimana dikatakan Sam Whimster & Scott Lash (1987: 1), adalah bagaimana peradaban Barat bergerak ke arah modernitas, dan kenapa peradaban lain bergerak ke arah yang berbeda. Weber tampak terobsesi dengan asal-usul kapitalisme modern yang berkembang pasca revolusi industri di Eropa. Weber tampak meyakini bahwa tindakan sosial yang berorientasi pada ekonomi adalah suatu proses yang membentuk kapitalisme: dari sistem sederhana seperti aktivitas tukar-menukar, hingga akumulasi profit. Dalam Economy and Society, Weber mengatakan:
“Action will be called “economically-oriented” inasmuch as its intended meaning is oriented to meeting (Fürsorge) a desire for utilities. “Economic activity” (Wirtschaften) will refer to a peaceful exercise of a power of disposition primarily oriented to “rational economic action,” which action is primarily rational by virtue of being directed to a purpose (Zweckrational), and hence is planfully oriented to economic ends” (Max Weber, 1978: 63).
Weber melihat bahwa perkembangan masyarakat kapitalisme adalah manifestasi dari tindakan-tindakan rasional berorientasi ekonomi. Weber memandang bahwa tindakan sosial, apapun jenisnya, adalah sesuatu yang rasional. Pembedanya adalah bagaimana suatu masyarakat mengambil jalan rasionalnya yang begitu variatif (Weber menggunakan tipe ideal dari empat tindakan sosial sebagai alat analisisnya). Kapitalisme yang diamati Weber bergerak ke arah rasionalitas instrumental, dan membentuk institusi-institusi modern seperti negara, birokrasi, dan sistem pasar. Untuk itulah Weber tidak sependapat dengan Marx, bahwa perjuangan kelas tidak mungkin terjadi dalam sistem kapitalisme yang sudah ajeg. Bagi Weber, justru perjuangan kelas terjadi di fase awal dari konsolidasi kapitalisme.
Dalam menjelaskan perubahan sosial, Weber tampak menggunakan tipologi Ferdinand Tönnies tentang community dan society. Namun Weber menolak analisis Tönnies yang mengatakan bahwa masyarakat bergerak linier dari community (tradisional) menuju society (modern dan rasional) (Waters & Waters, 2015: 5). Weber justru melihat bahwa perkembangan masyarakat dunia bergerak ke arah yang berbeda-beda. Misalnya, Weber membandingkan jalan rasionalisasi yang ditempuh antara masyarakat di Barat dengan India dan Cina sangat berbeda. Di Barat, rasionalisasi ditempuh secara instrumental, sehingga, memunculkan negara, birokrasi, dan sistem pasar modern. Berbeda dengan India dan Cina di mana jalur rasionalisasi ditempuh berdasarkan penghayatan nilai-nilai tradisional yang melekat: India dengan sistem kastanya, dan Cina yang cenderung kuat dengan nilai-nilai patriarkis (Collins, 1982: 91-93).
Dari penjelasan di atas, terlihat dengan jelas bagaimana disiplin sosiologi Weber tentang tindakan sosial dan penghargaan Weber terhadap ragam penghayatan nilai-nilai antarmasyarakat. Weber tidak menganggap bahwa masyarakat yang tidak modern seperti Barat, artinya terbelakang. Alih-alih demikian, Weber justru menekankan bahwa tiap-tiap masyarakat menempuh jalur rasionalisasi yang berbeda-beda. Ada yang menempuh jalur rasionalisasi berdasarkan penghayatan nilai-nilai tertentu, namun ada pula yang menghayatinya secara instrumental. Dengan demikian, kacamata Weberian tidak hanya ihwal tindakan sosial individu, melainkan juga dapat menjadi basis analisis bagi realitas makro yang terjadi di dalam masyarakat.
Daftar Pustaka
Collins, R. 1982. Weber’s Last Theory of Capitalism: A Systematization. Dalam: M. Granovetter & R. Swedberg (Eds), The Sociology of Economic Life. Colorado: Westview Press: 85-110.
Goddard, D. 1973. Max Weber and the Objectivity of Social Science. History and Theory, 12, (1): 1-22.
Jones, P., Bradbury, L. & Boutillier, S.L. 2016. Pengantar Teori-Teori Sosial. Diterjemahkan oleh Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta: Yayasan Obor.
Ritzer, G. 2011. Sociological Theory. Edisi Kedelapan. New York: McGraw-Hill.
Waters, T. & Waters, D. 2015. Max Weber’s Sociology in the Twenty-first Century. Dalam: T. Waters & D. Waters (Eds), Weber’s Rationalism and Modern Society. New York: Palgrave Macmillan: 1-17.
Weber, M. 1949. The Methodology of the Social Sciences. Diterjemahkan oleh Edward A. Shils & Henry A. Finch. New York: Free Press.
Weber, M. 1978. Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology. Disunting oleh Guenter Roth dan Claus Wittich. California: University of California Press.
Weber, M. 2019. Economy and Society: A New Translation. Diterjemahkan oleh Keith Tribe. Cambridge: Harvard University Press.
Whimster, S. & Lash, S. 1987. Introduction. Dalam: S. Whimster & S. Lash (Eds). Max Weber, Rationality, and Modernity. New York: Routledge: 1-34.
0 comments:
Posting Komentar