Rabu, 03 Juli 2024

Tidak Ada Dilema Asian Values dan Human Rights

Artikel ini saya maksudkan sebagai respons terhadap tulisan Arie Putra di kolom Detik.com (20/6) berjudul “Dilema Asian Values dan Human Rights”. Tulisan tersebut adalah penjelasan lebih lanjut Arie atas pernyataan “kontroversial”-nya dalam podcast Total Politik yang ia asuh soal pernyataan Asian Values dan Human Rights saat episode berjudul “Pandji Pragiwaksono Kaget Sama Jurus Andalan Prabowo?” yang pertama kali tayang pada 4 Juni 2024.

Singkatnya, Arie meyakini bahwa problem Politik Dinasti yang makin mengemuka saat ini adalah bagian dari Asian values, yaitu tradisi pewarisan nilai (dan kuasa) dalam sebuah keluarga politik. Sementara, kesempatan bagi anggota keluarga dari seseorang yang sedang mengemban jabatan politik untuk ikut kontestasi pemilu adalah human rights.

Ada beberapa argumen Arie yang, menurut hemat saya, perlu diluruskan. Melalui artikel ini, saya hendak menambah warna atas diskursus soal demokrasi, politik dinasti, Asian values, dan human rights sebagai pembacaan alternatif. Saya akan mendudukkan diskursus tersebut ke dalam bagaimana seharusnya demokrasi Indonesia berjalan. Untuk itu, pertama-tama, saya akan membahas problem demokrasi kita saat ini.

Problem Demokrasi Kita

Para Indonesianis baik dalam maupun luar negeri sebagian besar sepakat bahwa demokrasi Indonesia saat ini tengah mengalami regresi. Tom Power dan Eve Warburton, misalnya, dalam bagian pembukaan buku yang mereka sunting berjudul Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression menyebut bahwa salah satu sumber kemerosotan demokrasi Indonesia adalah apa yang ia sebut sebagai “regresi dari atas”.

Apa yang ia maksud “regresi dari atas” tidak lain adalah kemerosotan demokrasi akibat tindakan anti-demokratik pemimpin politik (dari atas), yang salah satu manifestasinya adalah menutup ruang oposisi dengan menggelembungkan kuasa eksekutif (executive aggradisement). Penggelembungan kekuasaan eksekutif ini membuat kebijakan-kebijakan strategis pemerintah tidak mudah digoyang, termasuk oleh kuasa yudikatif sekalipun.

Sosiolog Indonesia berhaluan kritis seperti Vedi Hadiz bahkan sudah sejak 30 tahun lalu menyebut bahwa demokrasi Indonesia hanyalah semata hasil dari reorganisasi kekuatan politik Orde Baru yang memanfaatkan institusi demokrasi. Argumen tersebut dapat ditelusuri dalam karyanya yang terbit 2004 silam berjudul Reorganizing Power in Indonesia. Dengan kata lain, institusinya baru, tapi wajah dan relasi kekuasaannya tetap sama. Oleh karenanya bagi Hadiz, demokrasi Indonesia sejak awal memang tidaklah benar-benar cermin dari demokrasi yang sesungguhnya.

Data kuantitatif lewat pengukuran indeks demokrasi seperti yang dilakukan The Economist juga menempatkan demokrasi Indonesia dalam rangkaian tahun-tahun terakhir ini ke dalam kategori flawed democracy (demokrasi yang cacat). Bahkan performa demokrasi Indonesia dalam laporan The Economist untuk 2023 berada di bawah negara tetangga seperti Malaysia dan Filipina.

Arie dalam tulisannya memang mengakui bahwa demokrasi Indonesia sedang bermasalah. Arie kemudian mendudukkan argumennya pada premis bahwa kekuasaan akan selalu cenderung korup, mengutip adagium lama Lord Acton abad ke-19, “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”.

Arie setuju bahwa kekuasaan korup adalah problem serius. Arie pun mengatakan “Idealnya, masyarakat harus mendapatkan pilihan pemimpin yang tidak korup dan memberikan kegembiraan. Lahirnya kepemimpinan semacam itu di Indonesia secara merata hanya mungkin ditopang oleh iklim demokrasi yang sehat”.

Akan tetapi, problem serius di balik argumen Arie adalah adanya kesan pembenaran (bertoleransi) bahwa kekuasaan yang koruptif tidaklah mengapa selama semuanya gembira. “Kalau semua gembira bagaimana?”, ungkap Arie dalam podcast-nya, yang kemudian ia klarifikasi sendiri dalam tulisannya bahwa memang tetap lebih baik kekuasaan yang tidak korup namun semua senang.

Pertanyaannya: yang dianggap semuanya senang, siapa saja? Karena kekuasaan koruptif kemudian semua elite politik dapat jatah, berarti semua elite politik yang senang. Apakah masyarakat senang? Lalu Arie merujuk apa yang ia sebut sebagai “fakta politik” bahwa pemimpin yang dipersepsikan melakukan tindakan korup masih memiliki tingkat penerimaan dan kepuasan yang tinggi. Jelas, ini tidak bisa dibenarkan jika itu dianggap sebagai bagian dari “kegembiraan rakyat”.

Fakta yang diungkap Arie soal kepuasan masyarakat memang sahih karena berbasis data. Berbagai hasil survei begitu bulat menunjukkan bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap Presiden Jokowi mencapai lebih dari 70 persen. Tapi ini tidak dapat sekonyong-konyong dijustifikasi sebagai rasa kegembiraan rakyat.

Apa yang dimaksud “kegembiraan bagi semua” itu harus didudukkan dalam konteks keadilan sosial, yang telah menjadi ruh dari tujuan didirikannya negara ini sejak kemerdekaan. Kenyataannya, ketidakadilan dalam politik akibat kekuasaan koruptif justru memiliki keterkaitan erat dengan ketidakadilan dalam ekonomi, pendidikan, hingga akses terhadap kesehatan.

Mengutip Andrew Yeo, dkk., dalam artikel Democracy and Inequality, kesempatan yang tertutup dalam politik mencederai hak-hak warga untuk turut memengaruhi kebijakan, dan pada gilirannya kebijakan itu sangat kuat dipengaruhi oleh kelompok elite (termasuk elite ekonomi yang super-kaya).

Secara mudah dapat kita cek pada betapa besarnya konsentrasi kekayaan negara terpusat di tangan kelompok elite satu persen. Studi Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) tahun 2023 bahkan menunjukkan bahwa skala dan intensitas oligarki ekonomi telah mengalami peningkatan secara drastis sejak 2006 hingga 2022. Problem ini terjadi karena kekuasaan koruptif menutup kesempatan politik bagi warga biasa untuk turut memengaruhi kebijakan publik guna menghadirkan kepentingan mereka.

Merujuk pada etika deontologi Immanuel Kant (etika Kantian) terutama perihal imperatif kategoris, moral universal itu mestinya berlaku termasuk dalam ranah politik. Jika melakukan pencurian kendati dianggap untuk tujuan baik, tetap tidak dapat dibenarkan karena mencuri melanggar moral universal. Proses yang melanggar moral universal tidak dapat dijadikan pembenaran kendati tujuan dari proses tersebut adalah baik.

Oleh karenanya, melakukan tindakan koruptif untuk meraih kekuasaan, dengan asumsi bahwa itu untuk tujuan “kebaikan” juga tidak dapat dibenarkan. Terlebih, kita malah lebih banyak melihat hasil “keburukan” dibandingkan “kebaikan” dari proses kekuasaan koruptif itu.

Mendudukkan Human Rights

Argumen utama yang juga harus diluruskan adalah soal human rights. Untuk menjustifikasi argumen Arie soal politik dinasti, ia merujuk pada putusan MK nomor 33/PUU-XIII/2015 yang membatalkan pasal “larangan politik dinasti”, yaitu pasal 7 huruf r UU 8/2015 soal Pilkada.

Putusan ini juga diperkuat argumen Prof Saldi Isra yang kurang-lebih menyebut bahwa keberadaan pasal tersebut terlalu berlebihan (tidak proporsional) karena membatasi hak politik keluarga dari petahana. Tapi kita harus teliti, bahwa argumen Prof Saldi memiliki kelanjutan, yaitu objek yang seharusnya dibatasi adalah petahana yang memegang jabatan politiknya (kepala daerah atau wakilnya).

Argumen lanjutan Prof Saldi ini penting dihadirkan untuk menunjukkan bahwa tindakan-tindakan yang menerabas conflict of interest yang dilakukan petahana tetaplah tidak dapat dibenarkan. Dari sini, kita kemudian paham mengapa Prof Saldi sangat kritis saat MK mengambil putusan soal batas usia capres-cawapres, yang juga diapresiasi oleh Arie dalam tulisannya.

Sekarang kita nilai sendiri, dan saya kira ini sangat mudah: Apakah petahana dalam pemilu 2024 kemarin telah melakukan tindakan yang menerabas konflik kepentingan, untuk memuluskan jalan bagi anggota keluarganya guna mencalonkan diri dalam pemilu? Apakah Arie juga melihat sisi ini? Bukankah melakukan conflict of interest bahkan vest of interest justru mencederai human rights yang sedang “dibela” oleh Arie?

Proses politik yang adil dalam pemilu jelas tidak bisa dilihat semata hanya di atas kebebasan rakyat untuk memilih calon pemimpin di atas surat suara. Ini yang selalu menjadi dasar argumen pembela politik dinasti.

Sebaliknya, proses politik yang adil juga harus dilihat pada dimensi, apakah proses kandidasi itu sudah berjalan setara atau tidak? Apakah ada mekanisme fair yang memungkinkan bagi semua warga negara, tanpa terkecuali (termasuk anggota keluarga petahana), dapat menjadi calon kandidat? Pertanyaan ini menjadi masalah kompleks karena mekanisme itu nyatanya tidak ada. Partai politik yang seharusnya menjalankan fungsi tersebut juga tidak melakukannya.

Sebenarnya masalah ini juga telah disinggung Arie, dan saya setuju dengan pernyataannya soal “berikan dukungan yang besar bagi partai politik untuk menyelenggarakan tugas-tugas sejarahnya”. Bahkan Arie menyebut perlu ada dukungan uang negara untuk mendorong pelembagaan partai, dan saya setuju. Karena memang pembiayaan negara untuk pilar demokrasi yang sangat esensial ini masih cukup minim.

Tapi apakah Arie tidak merasa sangat gelisah ketika melihat ada pemimpin politik yang menggunakan kuasanya untuk meloloskan kepentingan keluarganya, dengan mengutak-atik tata aturan bernegara kita, hanya karena ia memiliki kekuasaan di atasnya? Mengapa tindakan semacam ini harus ditempatkan sebagai human rights, sementara kenyataannya justru tindakan tersebut telah mencederai human rights?

Mendudukkan Asian Values

Mengutip Britannica, Asian values adalah seperangkat nilai yang dipromosikan oleh pemimpin dan intelektual Asia di akhir abad ke-20, sebagai alternatif nilai Barat yang dianggap individualis, mengagungkan kebebasan pribadi, kapitalistik, dan meninggalkan nilai tradisional. Nilai Barat dianggap tidak selaras dengan warisan Konfusianisme yang mengakar di Asia.

Asian values ini mencakup kekeluargaan, penghormatan terhadap otoritas, komunitarianisme, dan kerjasama. Asian values ini semakin mengkristal sejak promosi yang dilakukan mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew, bahwa keutuhan keluarga menjadi sentral bagi masyarakat Asia, termasuk dalam praktik politik dan ekonomi.

Penjelasan ini juga digambarkan secara rinci oleh Arie yang mengagumi LKY, yang menyebut bahwa Asian values menjunjung tinggi kerja keras, disiplin, dan hidup hemat. Kesemua nilai ini ditanamkan lewat unit terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga.

Arie juga menggambarkan bagaimana nilai-nilai Asia yang patriotik dan mau berjuang telah tertanam pada keluarga-keluarga politik di Indonesia. Beberapa yang Arie sebut di antaranya adalah keluarga Soekarno, keluarga Djojohadikusumo, keluarga Susilo Bambang Yudhoyono, keluarga Joko Widodo, termasuk keluarga Baswedan.

Tapi ada hal yang tidak dijelaskan Arie, dan justru sangat sentral dalam perdebatan ini. Bagaimana penjelasan Arie soal justifikasinya untuk membenarkan politik dinasti atas dasar Asian values? Sejauh saya membaca tulisannya, saya tidak menemukan penjelasan clear soal itu. Arie justru mengambil jalan berputar-putar menjelaskan apa itu Asian values dan membandingkannya dengan Singapura. Seakan-akan ia sebenarnya sedang memberi kesan tersirat bahwa politik dinasti itu dapat dibenarkan atas nama Asian values.

Arie mungkin lupa bahwa Asian values telah dikritik secara keras sejak lama karena dianggap sebagai cara menjustfikasi kebenaran kepemimpinan otoritarian. Asian values seolah menjadi nilai yang hadir dari langit serta berada di ruang hampa (vacuum of power), yang membawa begitu banyak kebajikan bagi bangsa Asia. Sebagai alumni sosiologi, saya yakin Arie memahami konteks sosial-politik yang melatarbelakangi promosi Asian values tersebut.

Bahkan di Indonesia sekalipun, sejak 1980-an, pemimpin Orde Baru telah menjadikan Asian values sebagai tameng untuk membatasi kebebasan berekspresi. Apa yang dilakukan mantan Presiden Soeharto sejak 1980-an, yaitu dengan menginisiasi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4, adalah bentuk kristalisasi Asian values a la Indonesia, jika ingin dikatakan demikian. Lalu apakah aspirasi akan demokrasi pada 1998 disusul kejatuhan pemerintahan Orde Baru adalah bentuk pertentangan rakyat langsung terhadap Asian values? Saya kira tidak demikian.

Arie juga mungkin luput bahwa Singapura, yang mendapatkan porsi pembahasan begitu besar dalam tulisannya, adalah pencilan (outlier) dalam kasus ini. LKY adalah filsuf yang juga menjadi pemimpin politik, sebagaimana model kepemimpinan yang di-ideal-kan oleh Plato yaitu “Filsuf Raja”. Kemampuannya dalam mengombinasikan birokrasi modern yang efisien, spirit kapitalisme, dan otoritarianisme diakui oleh filsuf asal Slovania, Slavoj Zizek. Hingga Zizek mengatakan bahwa sudah selayaknya LKY menjadi icon, yang patut dibuatkan patung seabad dari sekarang.

Singapura memang menjadi contoh negara-kota yang berhasil membangun ekonominya lewat otoritarianisme. Akan tetapi, Singapura menjadi pengecualian karena nyatanya, berbagai studi justru menemukan bahwa rata-rata negara non-demokratik memiliki tingkat ketimpangan ekonomi yang lebih besar. Artinya, sangat mungkin bahwa ketidaksetaraan dalam politik akibat otoritarianisme (termasuk politik dinasti) berkorelasi positif dengan ketidaksetaraan ekonomi. Inilah yang sebenarnya terjadi di Indonesia.

Studi yang dilakukan ekonom Irwan Trinugroho beserta timnya, dalam artikel mereka berjudul Democracy, economic growth, and income inequality (2023), justru menemukan bahwa demokrasi justru mampu mengurangi kesenjangan karena keberadaan kebijakan yang berdampak pada kelompok marjinal. Memang mesti diakui dalam temuan studi tersebut, ada kontribusi demokrasi terhadap hambatan atas pertumbuhan ekonomi regional. Ini seperti membuka perdebatan lama: setara (equality) dulu baru bertumbuh (growth), atau sebaliknya? Atau jangan-jangan sebetulnya dua hal itu dapat berjalan beriringan?

Jika Arie menggunakan argumen Asian values untuk membenarkan praktik politik dinasti, yang ia tahu betul bertentangan dengan demokrasi, lalu menghadirkan contoh Singapura, ini jelas adalah lompatan logika dan kekeliruan berpikir yang cukup fatal. Saya khawatir, apa yang ditulis Arie semata-mata hanya untuk membenarkan argumen masa lalu, yang membuat namanya begitu banyak dikritik banyak orang, tanpa mencoba merenungkan ulang konstruksi premisnya.


0 comments:

Posting Komentar